Jakarta, 15 Januari 2025 – Belo Tarran, S.Kom., M.Ag., seorang akademisi, aktivis, dan pembuat film asal Toraja Utara, telah menorehkan jejaknya sebagai sosok inspiratif yang menjembatani perbedaan dalam dunia pendidikan. Dengan latar belakang sebagai pemimpin organisasi mahasiswa dan seorang Kristen Protestan, kini ia menempuh pendidikan doktoral di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dalam program Kepemimpinan Islam Nusantara.
Dalam wawancara eksklusif, pria yang akrab disapa Bung Belo ini berbagi cerita tentang perjalanan akademik, motivasi, dan pengalaman uniknya di Unusia yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU).
Bung Belo memulai kariernya di dunia akademik dan aktivisme sejak menjadi mahasiswa di STMIK Dipanegara Makassar (sekarang Universitas Dipa Makassar) pada 2003–2007. Ia aktif dalam organisasi mahasiswa, khususnya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Namun, selama masa kuliah, ia juga banyak berinteraksi dengan teman-teman dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang memperkaya pengalamannya dalam memahami berbagai perspektif.
Pada tahun 2020, ia melanjutkan studi magister di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Toraja, mengambil jurusan Kepemimpinan Kristen, dan lulus pada tahun 2022. Tidak berhenti di sana, ia merasa tertantang untuk mendalami kepemimpinan dari perspektif Islam. “Awalnya saya berniat melanjutkan studi doktoral di UIN Jakarta, tetapi kemudian saya tertarik pada Islam Nusantara yang ditawarkan Unusia,” jelasnya.
Salah satu alasan kuat Bung Belo memilih Unusia adalah kekagumannya pada Nahdlatul Ulama sebagai benteng pertahanan NKRI. Ia juga terinspirasi oleh nilai-nilai NU yang moderat, inklusif, dan cinta damai.
Komentar serupa juga diungkapkan oleh Fariz AlNizar, salah satu pengelola bidang kemahasiswaan di Unusia. Menurutnya, kehadiran mahasiswa seperti Bung Belo menjadi bukti bahwa Unusia terbuka bagi siapa saja, terlepas dari perbedaan keyakinan. "Saudara Belo adalah satu dari sekian mahasiswa non-Muslim di sini. Hal ini membuktikan bahwa Unusia sebagai institusi sangat inklusif, khususnya dalam mendalami khazanah Islam Nusantara," ungkap Fariz.
Masuk ke lingkungan pendidikan berbasis Islam merupakan pengalaman baru bagi Bung Belo. Namun, ia merasa diterima dengan sangat baik. “Saya tidak merasakan aura negatif sama sekali. Dosen dan mahasiswa di sini sangat ramah dan terbuka,” ungkapnya.
Tantangan yang ia hadapi terutama berkaitan dengan pengetahuan tentang Islam. Untuk mengatasinya, Bung Belo menginvestasikan waktu membaca berbagai buku tentang sejarah Islam, Islam Nusantara, hingga karya ulama NU seperti Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj. Ia juga aktif memanfaatkan perpustakaan PBNU sebagai sumber literatur.
Pengalaman unik yang ia alami di kampus ini turut memperkaya perjalanannya. “Kadang saya disapa ‘Pak Haji’ oleh orang sekitar karena sering memakai songkok. Ini membuat saya tersenyum dan merasa diterima sebagai bagian dari komunitas,” ceritanya.
Bung Belo melihat bahwa Unusia mencerminkan prinsip NU yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pendekatan pendidikan inklusif. Menurutnya, diskusi akademik di kampus ini sangat kaya karena perbedaan latar belakang mahasiswa.
“Dalam diskusi tentang Paradigma Islam Nusantara, kami sering membahas sejarah tokoh-tokoh nasional dari berbagai agama. Ini memperkaya wawasan kami tentang bagaimana perbedaan dapat menjadi kekuatan,” jelasnya.
Sebagai seorang akademisi yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, Bung Belo memiliki pesan penting untuk masyarakat luas. “Pendidikan adalah cara kita memahami perbedaan dan menciptakan kekuatan darinya. Di sinilah kita belajar sejarah, memahami masa lalu, dan membangun masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Ke depan, ia berharap dapat menyelesaikan studi doktoralnya di Unusia dan memberikan kontribusi nyata melalui penelitiannya tentang Kepemimpinan Islam Nusantara. “Saya ingin mengangkat nilai toleransi dan kebhinekaan dalam dunia pendidikan, serta menjadikan Islam Nusantara sebagai bagian dari taman sari peradaban dunia,” tutupnya.